::

Navbar Bawah

Search This Blog

Pages

Selasa, 03 Februari 2015

SEPSIS DAN SIRS

I.                   Pendahuluan
            Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik pasien-pasien bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea, takikardi, demam, diaforesis dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah, bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu diagnosis “sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional memberikan pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif yang tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu jenis mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik host (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.
            Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua peristiwa ini. Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi inflamasi, walaupun secara lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya mikroba patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sepsis” yang disebabkan infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis yang serupa yaitu suatu respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.
            Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua milenium yang lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan dengan hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan kematian. Sepsis merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian jaringan yang memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba yang berat, sementara septikemia mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di dalam sirkulasi.
            Dalam tahun-tahun terakhir ini, banyak kemajuan besar telah dibuat dalam membangun pengertian kita tentang respon sepsis, baik baik tentang asal mediator, efek maupun konsekuensinya.
II.                Epidemiologi
            Dari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat 10.319.418 kasus sepsis (merupakan 1.3% dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis yang dirawat setiap tahun meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun 2000 (meningkat 13,7% per tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada populasi pasien sepsis dari masing-masing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57, 4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.
            Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab sepsis yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah bakteri Gram positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram positif merupakan 52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba 4,7%, anaerob 1% dan infeksi jamur 4,6%.
            Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8% pada subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien sepsis yang mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1% pada 11 tahun pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada 33,6% pasien selama subperiode terakhir (1995 – 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi angka mortalitas: kurang lebih 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara 70% pasien dengan kegagalan 3 organ atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis (7%), kegagalan metabolik (7%) dan kegagalan neurologis (2%).
Tabel 1. Karakteristik pasien sepsis
III.             Definisi dan Terminologi
            Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensi American Collage of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992, yang menghasilkan suatu konsensus :
Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).
Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem sirkulasi.
SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :
§  demam (suhu tubuh > 38  oC) atau hipotermia (< 36 oC)
§  takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
§  takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3 kPa)
§  leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.
Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.
Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).
Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.
MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostasis.
Gambar 1. Hubungan Sepsis, SIRS dan Infeksi
IV.             Patogenesis
Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang cedera atau destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines intraseluler dan mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :
-          aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis
-          respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel mast. Tipe sel efektor yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan, iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals, histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.
            Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan (up-regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory mechanism) yang sangat komplek. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu saat ini mekanisme seperti itu disebut sebagai common pathway of inflamatory respons.
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal respon inflamasi tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi tersebut merupakan refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang terjadi atau berat-ringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan menyebabkan respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome). Namun apabila luka traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi respon inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh (remote organ) akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
(1)    Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi sistemik.
(2)    Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
(3)    Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators), yaitu :
1.      Mikroorganisme
Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari pertahanan fisik (kulit-membran mukosa), pertahanan kimia, sistem fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral immunity (sistem antibodi, komplemen) dan cellular immunity.
Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu adalah patogenitas mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.
2.      Endotoksin dan eksotoksin
Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari lapisan membran dalam dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama atau efektor utama yang dipicu endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.
Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui terjadinya reaksi reseptor-antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam sitokin.
3.      Jaringan nekrotik
-          Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag
-          Memberikan lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman
4.      Trauma jaringan lunak
-     Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator sekunder atau sinyal pada sel efektor.
5.      Ischaemic-reperfusion
-          Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan akan berkurang, yang berakibat timbulnya perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler.
-          Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.
Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan memicu pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima inisiator tersebut akan saling mempengaruhi dan saling meningkatkan respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk berbagai elemen komponen inflamasi, yaitu :
1.                  Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).
            Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator inflamasi. Cedera pada jaringan dan pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade pembekuan (coagulation cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan menghasilkan produk yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII (juga dikenal sebagai Faktor Hageman) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek langsungnya minimal, namun faktor ini sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang lain.
2.                  Platelet aktif.
            Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses trombosis dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon inflamasi. Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama tromboxan A2 sebagai vasokonstriktor yang poten.
3.                  Sel mast
            Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel akan segera merelaksasi otot polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah dan penurunan kecepatan aliran darah.
4.                  Contact activating system.
            Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.
5.                  Kaskade komplemen (complement cascade).
            Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik adalah aktivasi protein komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel dan secara tidak langsung produksi bradikinin.
            Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan edema jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan chemoattracttant.
            Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF (Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi jaringan lunak yang tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk terjadinya SIRS maupun sekuele-nya.
Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut :
1.                  Aktivasi reaksi inflamasi.
            Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya SIRS. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma, proses infeksi adalah proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan besar pada suatu saat akan melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik. Namun perlu digarisbawahi bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut bukan merupakan syarat untuk terjadinya reaksi sistemik.
            Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebut “two-hit” hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan, trauma berat atau operasi besar akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi, perdarahan ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.
2.                  Aktivasi inisiator
            Aktivasi kaskade pembekuan (Coagulation Cascade) akan mengakibatkan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami pemanjangan PT (Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) sebagai akibat penggunaan protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga terjadi aktivasi protein komplemen. Efek bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase ketiga.
3.                  Konsekuensi sistemik fase pertama
            Mediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat menurunnya tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada dukungan preload yang cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia relative. Bila ada dukungan preload yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index. Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat terjadinya edema sistemik.
4.                  Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi (Proinflamatory cytokine).
            Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara sistemik. Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan lunak didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan akan memberikan kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi oleh chemoattracttant dan tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin proinflamasi yang disekresi ke cairan ekstrasel.
5.                  Penempelan netrofil.
            Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel dengan netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasi namun nampak lebih banyak terjadi pada sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target MODS (yaitu paru, hati, usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.
6.                  Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.
            Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai proses fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan perilaku fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini segera dikeluarkan di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan “self-digestion” mulai terjadi.
7.                  Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.
            Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi platelet terjadi pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom yang lain. Respon yang dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh thromboxane A2. Terbentuk juga trombus lokal pada tempat trauma endotel di dalam mikrosirkulasi.
8.                  Terhentinya mikrosirkulasi.
            Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi adalah penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun trombosis total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma dan infeksi, trombosis dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi suatu organ.
9.                  Nekrosis fokal.
            Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan akibat nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari jumlah sel endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus memproduksi netrofil dengan akibat makin banyak jaringan fungsioanl yang mengalami nekrosis sehingga proses disfungsi pada MODS terus berlangsung.


10.              Proses “self-energizing” dan “self-recycling”
            Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya rangsang atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh proses juga akan menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini menghasilkan trauma pada jaringan dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik. Dengan demikian lesi pada suatu end-organ juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi inflamasi.
            Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi dan dapat digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin seperti TNF-a (Tumor nekrosis Faktor - a), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang terlihat pada pasien sepsis dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6 biasanya digunakan sebagai indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.
            Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-reactive Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam plasma meningkat dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP disebut sebagai pertanda yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit dan suhu tubuh.
            Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli lain melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6. Pertanda yang lain adalah neopterin, elastase dan fosfolipase A2.
V.                Gejala klinis
            Dalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien dengan respon septik (yaitu SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi hemodinamik dan metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap sepsis, namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap suatu rangsang dan kemampuan cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan fisiologis umum yang terjadi.
Keempat tahap tersebut adalah :
1.                  Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)
            Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan COP yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti keadaan normal.
            Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau operasi besar.
            Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan penyakit.
2.                  Tahap B (Fase MODS)
            Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung (sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim metabolisme sel.
            Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.
3.                  Tahap C (Fase Dekompensasi)
            Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan kompensasi jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.
4.                  Tahap D (Fase Terminal)
            Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.


Tabel 2. Tahapan SIRS
Fase
COP
SVR
Laktat
Transien
N
MODS
↑↑↑
↓↓
Dekompensasi
N
↓↓↓
↑↑
Terminal
↓↓↓
↑↑↑
↑↑
            Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).
Tabel 3. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok septik)
Hiperdinamik
Hipodinamik
Klinis
Suhu
↑, Menggigil
↑ / ↓
Kulit
Kering, hangat
Dingin
Jantung
Takikardi
Takikardi
Paru
Takipneu
Takipneu
Tekanan darah
Status mental
Berubah
Obtudansi
Produksi urin
Variabel
Oliguri
Laboratorium
Lekosit
↑ / ↓, geser ke kiri
Keasaman
Asidosis metabolik
Asidosis metabolik
Gula darah
Hiper/Hipoglikemia
Laktat
1,5 – 2,0 mM/L
> 2,0 mM/L
Trombosit
Trombositopenia
VO2
(A-V) O2
Normal / ↓
Tekanan baji
Normal / ↓
Bervariasi
Fisiologi
COP
Tidak adekuat
SVR
Mikrovaskuler
Kerusakan lokal
Kerusakan lokal
            Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis). Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik, yang membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO2 dan tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk a dan β agonist. Hal ini akan mengakibatkan hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai terjadi. Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien menjadi letargi.
            Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok septik) dan keadaan ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.
            Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi organ harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi. Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan organ dapat segera dihentikan.


Tabel 4. Gejala awal MOF
ORGAN
EFEK
TANDA KLINIK
Paru
Tahanan vaskuler pulmoner ↑
Takipneu, hipoksia
ARDS akut
Takipneu, hipokarbia
Atelektasis
Alkalosis respiratorik
Emboli paru
Takipneu
Pneumonia
Takipneu, suhu tinggi
Hati
Hipoalbuminemia
Gangguan koagulasi
Bilirubinemia
Ikterus
Asam amino ↑
Hepatomegali
Saluran cerna
Tukak lambung
Hematemesis/melena
Gastritis hemoragik
Nyeri perut, syok
Kolesistitis akut
Nyeri perut, suhu ↑
Trombosis v.mesenterika
Nyeri perut, syok
Ginjal
Kreatinin ↑
Oligouria / anuria
Nitrogen ↑
Retensi cairan
Osmolaritas urin ↓
Edema
Kardiovaskuler
CO ↑, gagal, atau ↓
Syok
Tahanan vaskuler
Asidosis metabolik
Koagulasi
Trombositopenia
Ekimosis
Fibrinogen ↑ (dini), ↓ (lanjut)
Perdarahan difus
PT ↑
VI.             Penatalaksanaan
            Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :
1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
            Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a.                  Mempertahankan saturasi oksigen arteri
            Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b.                  Ekspansi cairan
            Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.
c.                   Inotropik
            Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d.                  Transfusi darah
            Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.
e.                   Vasodilator
            Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.
f.                    Vasokonstriktor
            Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
a.                  Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
            Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :
1.                  Meminimalkan trauma lebih lanjut
2.                  Debridemen yang agresif
3.                  Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4.                  second-look procedure
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.
b.                  Modifikasi respon stress hormonal
            Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.
c.                   Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
            Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
            Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.
            Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.
            Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
            Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
Organ
Komplikasi
Paru-paru
ARDS karena infeksi nosokomial
Pneumonia nosokomial
Barotrauma
Keracunan O2
Hipervolemia
Usus
Cedera karena infeksi / endotoksin
Malnutrisi
Keracunan obat
Kolitis pseudomembran
Hipovolemia
Hati
Cedera karena infeksi / endotoksin
Overfeeding
Keracunan obat
Ginjal
Cedera karena infeksi / endotoksin
Keracunan obat
Hipovolemia
Sistemik
Malnutrisi
Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat
Modalitas Terapi Baru
            Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.
            Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.
            Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.
           
            Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.
            Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).
Konsep Baru Pengobatan Sepsis
Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.
Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al, menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif  yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 – 110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200 mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-akt.
Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-directed  therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien. Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6 jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.
Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya: metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.
VII.          Daftar Pustaka
1.                  Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.
2.                  Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.
3.                  Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.
4.                  Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med 2003, 348; 138-50.
5.                  Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.
6.                  Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.
7.                  Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.
http://materikedokteran.blogspot.com/2013/06/sepsis-dan-sirs.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar